Rabu, 15 Agustus 2012

Cukuplah Tuhan, Kamu, dan Aku yang Tahu


Hidup ini ibarat sebuah film,
Akan berganti dari sebuah adegan ke adegan yang lain,
Akan mengalami berbagai emosi dan situasi yang berbeda
Akan menjadikan kita pemain utama dan bukan pemain utama
Love changes a lot of things even the one that you think it could never change

Tak bosan-bosannya aku menonton drama serial Korea yang berjudul “Secret Garden”. Sebuah film yang menceritakan romansa percintaan dari dua orang yang memiliki latar belakang sosial yang berbeda. Si gadis yang bekerja sebagai seorang pemain pengganti atau stuntwoman mengalami berbagai tragedy yang cukup memilukan untuk akhirnya bisa bersanding dengan seorang Presiden Direktur dari sebuah perusahaan yang besar. Memang kisah romansa yang ditampilkan dalam film ini hampir sering muncul dalam film-film mancanegara yang lain, akan tetapi ada sudut dimana “pertukaran jiwa” yang mampu membawa makna tersendiri bagiku. Meskipun film tersebut nampak bukan kisah nyata dalam hal ending cerita, dimana dewasa ini status sosial merupakan gerbang yang jelas membedakan antar manusia. Akan tetapi, kita perlu melihat dari teropong yang berbeda untuk dapat memaknai “keindahan” yang berbeda pula. Dari film tersebut, aku mendapatkan berbagai gambaran yang hampir serupa dengan kisahku. Aku seakan menemukan keterikatan yang membuatku merasa tegar setelah menonton film tersebut.
Insight #1
Kita harus bersabar dalam menanti sebuah “kesempatan”. Dalam film tersebut, digambarkan bagaimana seorang pemain pengganti harus bersabar untuk menunggu saat-saat ia beraksi. Jika pemain pengganti tersebut tidak sabar dan merasa ia hanya dimanfaatkan karena hanya dijadikan bayangan yang selalu mengikuti kemana arah raga yang asli, maka kelak ia akan kehilangan kesempatannya dalam konteks “film” tersebut. Dalam kehidupan nyata, aku mengalami hal tersebut ketika menjalin sebuah pertemanan dengan orang lain. Terkadang aku merasa bahwa teman sejati hanyalah diri kita sendiri dimana ketika kita telah berhasil menyeimbangkan keterkaitan antara jiwa raga serta ketertarikan kita pada diri sendiri, maka kita akan sedikit terhindar dari rasa kesepian. Hal ini mengingatkanku pada perkataan seorang motivator bernama Merry Riana, dimana ia menyarankan agar kita selalu berbuat dan melakukan hal terbaik untuk orang-orang yang dekat dengan kita. Hal tersebut disebabkan oleh terbatasnya kesempatan dimana mereka tidak akan selalu dekat dengan kita, sehingga kita harus berbuat yang terbaik sebelum akhirnya kita menyesal. Disini, hubungannya dengan film tersebut adalah bagaimana kita harus bersabar dalam menanti kesempatan yang ada serta kita juga harus memanfaatkan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya.
Insight #2
Berusahalah memakai “kacamata” si dia untuk mengerti keadaannya. Dalam film tersebut, digambarkan bagaimana “takdir” menukar jiwa mereka. Hal ini dimaksudkan sebagai kesempatan yang muncul ketika kita diberikan kesempatan untuk dapat melihat “apa” yang sebenarnya ada dalam dirinya. Jika kita memiliki teman, sahabat, atau bahkan pacar, seringkali kita selalu ingin bersama dengan mereka. Kita selalu memiliki keinginan untuk melewatkan momen-momen yang indah dengan mereka. Akan tetapi, terkadang keinginan kita dimaknai menjadi sebuah sikap yang possessive dan sebuah keegoisan semata. Terlebih lagi ketika kita tidak mencoba untuk mengemas pesan yang ingin kita sampaikan dengan jelas dan dalam kondisi yang tepat. Kondisi lain terkadang kita menaruh rasa curiga pada si dia karena tidak memberi apresiasi atas apa yang telah kita lakukan. Anda tentu tidak ingin hal tersebut terjadi diantara Anda dan orang terdekat, sehingga mulai sekarang, cobalah untuk menjadi orang yang selalu berusaha melihat dan memposisikan diri sebagai si dia ketika Anda hendak mengatakan sesuatu yang bersifat judgement. Sebuah lagu yang mencerminkan kondisi ini adalah lagu dari Guy Sebastian yang berjudul “Angels Brought Me Here”. Dalam lagu itu, disampaikan sebuah makna dimana ada seseorang yang menyampaikan kisah perjalanan hidupnya sampai akhirnya ia menemukan keindahan pada sebuah keajaiban yang ada di depan matanya. Orang tersebut berandai-andai jikalau sebuah keajaiban tersebut mencoba melihat apa yang ia lihat, tentu mereka akan sama-sama tahu bahwa ada bantuan dari “takdir” yang akhirnya membantu mereka untuk dapat bertemu. Jika memang Anda merasa bahwa pertemuan tersebut karena kehendak Tuhan, maka Anda perlu mempertahankan dan berbuat yang terbaik untuk  orang-orang yang telah menghargai Anda. Jangan sampai mereka menyesal karena pernah dekat dengan Anda.
Insight #3
Berusahalah untuk “mengelola” emosi. Orang yang dianggap professional adalah orang yang mampu mengendalikan diri untuk tahu bagaimana cara mengekspresikan emosinya dengan tepat. Meskipun terkadang kita ingin meluapkan emosi yang ada agar merasa tenang, akan tetapi hal tersebut bisa saja menjadi bumerang bagi kita jikalau orang yang ada di dekat kita tidak menyukai hal tersebut. Meskipun terkadang perih untuk menyimpan luka, akan tetapi itu akan lebih baik jika memang ada hal-hal yang akan berdampak buruk jika kita bagikan dengan si dia. Cara lain yaitu cobalah dengan memulai pembicaraan yang nyaman untuk akhirnya melakukan konfirmasi terlebih dahulu akan apa yang terjadi. Jika kita langsung bernegatif thinking kepada si dia, alhasil dia mungkin saja akan jenuh dengan sikap tersebut dan lelah untuk kembali pada kondisi yang sama.

-to be continue. . . . . . . .-



Senin, 13 Agustus 2012

Tuhan dan “Kita” yang Tahu



Senja di waduk Gembong kala itu menemaniku melewati indahnya matahari terbenam bersama teman-temanku. Pemandangan gunung serta tenangnya air turut menambah kesejukan pada waktu itu. Yosi (Psiko UI 2012), Kak Fierdi (temen kos), dan Dika (Polines 2010), tiga orang teman yang bersama mereka aku melewati malam yang cukup berkesan. Sore itu, sekitar pukul empat sore (mundur dari jadwal semula pukul dua siang) mereka berkumpul dirumahku. Sedikit perbincangan dengan orang tuaku kemudian kami memutuskan untuk langsung menuju tempat buka bersama yang rencanyanya adalah kolam pemancingan (saran dari si Dika). Tak lama mengendarai motor, Dika bertanya untuk menentukan tujuan kepergian kami. Diskusi dengan dua orang teman yang lain pun sempat berlangsung selama kurang lebih lima menit dan berlokasi di pinggir jalan pantura. Yosi  merasa sangat antusias untuk melihat waduk dimana aku sempat menjadikannya background profil facebookku. Sementara itu, aku dan Dika lebih cenderung memilih kolam pemancingan karena memang rencana awal kami ingin “mancing”. Kak Fierdi, sebagai orang dituakan, agak bingung untuk memutuskan harus pergi kemana. Akan tetapi, tak lama kemudian aku dan Dika menuruti permintaan Yosi sebagai tanda meghargai tamu (Yosi dan Kak Fierdi).


Sesampainya di waduk, kami mendapati pinggiran waduk yang cukup ramai. Terdapat beberapa pemuda yang berfoto-foto dibawah menara air, sebagian lainnya hanya sekedar duduk-duduk di pinggir waduk sembari melihat panorama yang tersaji. Beberapa saat setelah kami memarkir motor, aku keluarkan kamera pocket dan menyerahkannya kepada Yosi. Waktu itu, entah mengapa aku tak langsung bersemangat untuk “take an action” padahal sebelumnya aku sempat merencanakan untuk foto-foto sepuasnya di tempat itu. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh topic pembicaraan yang sebelumnya aku bicarakan dengan Dika. Ada beberapa bagian yang cukup membuat aku “bad mood” dan akhirnya terdiam untuk beberapa waktu. Keceriaan di wajah Yosi dan Kak Fierdi lantas mengubah sedikit sudut pandangku. Aku lantas coba untuk menahan “kegalauan”ku sampai saat yag tepat untuk dapat mengekspresikannya.
Tatkala kami menuruni jalan setapak menuju tepian danau, kami hampir tidak menyadari bahwa matahari telah menampakkan bekas-bekas cahaya yang sinarnya semakin menghilang. Jarum jam juga telah menunjukkan pukul setengah enam sore. Dengan segera kami meninggalkan tempat itu dan menuju Simpang Lima Pati tempat dimana kami menghabiskan malam. Setelah setengah jam perjalanan, kami sampai di Simpang Lima Pati dan kemudian kami berkeliling untuk mencari makanan yang cocok untuk berbuka. Yosi dan Kak Fierdi yang notabene adalah “anak Jakarta”, sedikit menaruh heran kepada sebuah gerobak yang bertuliskan “Pempek” akan tetapi gerobak tersebut penuh berisi gorengan seperti risol, bakwan, dan lain-lain. Dika pun menjelaskan kepada mereka tentang “pempek Pati” yang memang seperti itu adanya. Gayanya menjelaskan nampak seperti seorang tour guide. Maklum saja, dia adalah mantan seorang Duta Wisata Kota Pati sewaktu ia duduk di bangku SMA. Cukup lama kami menyusuri jalanan Simpang Lima dan perut pun seakan tengah memasang alarm untuk segera Aku, Yosi, dan Dika memutuskan untuk mencoba pempek sementara kak Fierdi memesan Siomay yang terletak di sebelah tempat kami makan.
Tak menunggu beberapa lama setelah kami duduk, aku merasa ada sesuatu yang membuat hatiku kesal. Aku meminjam kunci motor Dika dan segera bergegas menancap gas dan menuangkan keluh kesahku dengan beberapa kali mengambil kesempatan ekstrim. Setelah kembali dari pencurahan keluh kesah, aku tampak sedikit asing dengan tatapan mata teman-temanku. Mereka tak habis pikir akan tingkahku yang mencurigakan. Mereka bahkan sampai mengamati gerak-gerikku dalam menghabiskan makanan yang telah aku pesan. Setelah makan, kami memutuskan untuk sholat maghrib di Masjid Agung Baitunnur Pati. Kak Fierdi dan Yosi melangkah terlebih dahulu menuju masjid, sedangkan Dika mengintrogasiku dengan berbagai pertanyaan. Temanku yang satu ini khawatir jika aku mendapatkan hal-hal yang tidak mengenakkan dari orang lain. Hal yang cukup membuatku kembali tersenyum yaitu ketika ketiga temanku ini mengatakan bahwa Fatma itu cerewet dan ketika dia tidak seperti itu lagi, mereka merasa asing dengan sikapku itu. Terlebih si Dika juga mengatakan bahwa Fatma yang ia kenal adalah orang yang suka mencubit, menjambak, menampar, dan lain-lain. Terlebih lagi sekasar apapun aku, mereka tetap menghargaiku sebagai seorang teman.

"Jadilah Fatma yang kami kenal"
Nice story with Muammar Dafi Mandika, Yosipana Khusnulhuda, Fierdianna Handayani


Translate