Senin, 13 Agustus 2012

Tuhan dan “Kita” yang Tahu



Senja di waduk Gembong kala itu menemaniku melewati indahnya matahari terbenam bersama teman-temanku. Pemandangan gunung serta tenangnya air turut menambah kesejukan pada waktu itu. Yosi (Psiko UI 2012), Kak Fierdi (temen kos), dan Dika (Polines 2010), tiga orang teman yang bersama mereka aku melewati malam yang cukup berkesan. Sore itu, sekitar pukul empat sore (mundur dari jadwal semula pukul dua siang) mereka berkumpul dirumahku. Sedikit perbincangan dengan orang tuaku kemudian kami memutuskan untuk langsung menuju tempat buka bersama yang rencanyanya adalah kolam pemancingan (saran dari si Dika). Tak lama mengendarai motor, Dika bertanya untuk menentukan tujuan kepergian kami. Diskusi dengan dua orang teman yang lain pun sempat berlangsung selama kurang lebih lima menit dan berlokasi di pinggir jalan pantura. Yosi  merasa sangat antusias untuk melihat waduk dimana aku sempat menjadikannya background profil facebookku. Sementara itu, aku dan Dika lebih cenderung memilih kolam pemancingan karena memang rencana awal kami ingin “mancing”. Kak Fierdi, sebagai orang dituakan, agak bingung untuk memutuskan harus pergi kemana. Akan tetapi, tak lama kemudian aku dan Dika menuruti permintaan Yosi sebagai tanda meghargai tamu (Yosi dan Kak Fierdi).


Sesampainya di waduk, kami mendapati pinggiran waduk yang cukup ramai. Terdapat beberapa pemuda yang berfoto-foto dibawah menara air, sebagian lainnya hanya sekedar duduk-duduk di pinggir waduk sembari melihat panorama yang tersaji. Beberapa saat setelah kami memarkir motor, aku keluarkan kamera pocket dan menyerahkannya kepada Yosi. Waktu itu, entah mengapa aku tak langsung bersemangat untuk “take an action” padahal sebelumnya aku sempat merencanakan untuk foto-foto sepuasnya di tempat itu. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh topic pembicaraan yang sebelumnya aku bicarakan dengan Dika. Ada beberapa bagian yang cukup membuat aku “bad mood” dan akhirnya terdiam untuk beberapa waktu. Keceriaan di wajah Yosi dan Kak Fierdi lantas mengubah sedikit sudut pandangku. Aku lantas coba untuk menahan “kegalauan”ku sampai saat yag tepat untuk dapat mengekspresikannya.
Tatkala kami menuruni jalan setapak menuju tepian danau, kami hampir tidak menyadari bahwa matahari telah menampakkan bekas-bekas cahaya yang sinarnya semakin menghilang. Jarum jam juga telah menunjukkan pukul setengah enam sore. Dengan segera kami meninggalkan tempat itu dan menuju Simpang Lima Pati tempat dimana kami menghabiskan malam. Setelah setengah jam perjalanan, kami sampai di Simpang Lima Pati dan kemudian kami berkeliling untuk mencari makanan yang cocok untuk berbuka. Yosi dan Kak Fierdi yang notabene adalah “anak Jakarta”, sedikit menaruh heran kepada sebuah gerobak yang bertuliskan “Pempek” akan tetapi gerobak tersebut penuh berisi gorengan seperti risol, bakwan, dan lain-lain. Dika pun menjelaskan kepada mereka tentang “pempek Pati” yang memang seperti itu adanya. Gayanya menjelaskan nampak seperti seorang tour guide. Maklum saja, dia adalah mantan seorang Duta Wisata Kota Pati sewaktu ia duduk di bangku SMA. Cukup lama kami menyusuri jalanan Simpang Lima dan perut pun seakan tengah memasang alarm untuk segera Aku, Yosi, dan Dika memutuskan untuk mencoba pempek sementara kak Fierdi memesan Siomay yang terletak di sebelah tempat kami makan.
Tak menunggu beberapa lama setelah kami duduk, aku merasa ada sesuatu yang membuat hatiku kesal. Aku meminjam kunci motor Dika dan segera bergegas menancap gas dan menuangkan keluh kesahku dengan beberapa kali mengambil kesempatan ekstrim. Setelah kembali dari pencurahan keluh kesah, aku tampak sedikit asing dengan tatapan mata teman-temanku. Mereka tak habis pikir akan tingkahku yang mencurigakan. Mereka bahkan sampai mengamati gerak-gerikku dalam menghabiskan makanan yang telah aku pesan. Setelah makan, kami memutuskan untuk sholat maghrib di Masjid Agung Baitunnur Pati. Kak Fierdi dan Yosi melangkah terlebih dahulu menuju masjid, sedangkan Dika mengintrogasiku dengan berbagai pertanyaan. Temanku yang satu ini khawatir jika aku mendapatkan hal-hal yang tidak mengenakkan dari orang lain. Hal yang cukup membuatku kembali tersenyum yaitu ketika ketiga temanku ini mengatakan bahwa Fatma itu cerewet dan ketika dia tidak seperti itu lagi, mereka merasa asing dengan sikapku itu. Terlebih si Dika juga mengatakan bahwa Fatma yang ia kenal adalah orang yang suka mencubit, menjambak, menampar, dan lain-lain. Terlebih lagi sekasar apapun aku, mereka tetap menghargaiku sebagai seorang teman.

"Jadilah Fatma yang kami kenal"
Nice story with Muammar Dafi Mandika, Yosipana Khusnulhuda, Fierdianna Handayani


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate