Senja di waduk Gembong kala itu
menemaniku melewati indahnya matahari terbenam bersama teman-temanku. Pemandangan
gunung serta tenangnya air turut menambah kesejukan pada waktu itu. Yosi (Psiko
UI 2012), Kak Fierdi (temen kos), dan Dika (Polines 2010), tiga orang teman
yang bersama mereka aku melewati malam yang cukup berkesan. Sore itu, sekitar
pukul empat sore (mundur dari jadwal semula pukul dua siang) mereka berkumpul
dirumahku. Sedikit perbincangan dengan orang tuaku kemudian kami memutuskan
untuk langsung menuju tempat buka bersama yang rencanyanya adalah kolam
pemancingan (saran dari si Dika). Tak lama mengendarai motor, Dika bertanya
untuk menentukan tujuan kepergian kami. Diskusi dengan dua orang teman yang
lain pun sempat berlangsung selama kurang lebih lima menit dan berlokasi di
pinggir jalan pantura. Yosi merasa
sangat antusias untuk melihat waduk dimana aku sempat menjadikannya background
profil facebookku. Sementara itu, aku dan Dika lebih cenderung memilih
kolam pemancingan karena memang rencana awal kami ingin “mancing”. Kak Fierdi,
sebagai orang dituakan, agak bingung untuk memutuskan harus pergi kemana. Akan
tetapi, tak lama kemudian aku dan Dika menuruti permintaan Yosi sebagai tanda
meghargai tamu (Yosi dan Kak Fierdi).
Sesampainya di waduk, kami
mendapati pinggiran waduk yang cukup ramai. Terdapat beberapa pemuda yang
berfoto-foto dibawah menara air, sebagian lainnya hanya sekedar duduk-duduk di
pinggir waduk sembari melihat panorama yang tersaji. Beberapa saat setelah kami
memarkir motor, aku keluarkan kamera pocket dan menyerahkannya kepada
Yosi. Waktu itu, entah mengapa aku tak langsung bersemangat untuk “take an
action” padahal sebelumnya aku sempat merencanakan untuk foto-foto sepuasnya di
tempat itu. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh topic pembicaraan yang
sebelumnya aku bicarakan dengan Dika. Ada beberapa bagian yang cukup membuat
aku “bad mood” dan akhirnya terdiam untuk beberapa waktu. Keceriaan di wajah
Yosi dan Kak Fierdi lantas mengubah sedikit sudut pandangku. Aku lantas coba
untuk menahan “kegalauan”ku sampai saat yag tepat untuk dapat mengekspresikannya.
Tatkala kami menuruni jalan
setapak menuju tepian danau, kami hampir tidak menyadari bahwa matahari telah
menampakkan bekas-bekas cahaya yang sinarnya semakin menghilang. Jarum jam juga
telah menunjukkan pukul setengah enam sore. Dengan segera kami meninggalkan
tempat itu dan menuju Simpang Lima Pati tempat dimana kami menghabiskan malam.
Setelah setengah jam perjalanan, kami sampai di Simpang Lima Pati dan kemudian
kami berkeliling untuk mencari makanan yang cocok untuk berbuka. Yosi dan Kak
Fierdi yang notabene adalah “anak Jakarta”, sedikit menaruh heran kepada sebuah
gerobak yang bertuliskan “Pempek” akan tetapi gerobak tersebut penuh berisi
gorengan seperti risol, bakwan, dan lain-lain. Dika pun menjelaskan kepada
mereka tentang “pempek Pati” yang memang seperti itu adanya. Gayanya
menjelaskan nampak seperti seorang tour guide. Maklum saja, dia adalah
mantan seorang Duta Wisata Kota Pati sewaktu ia duduk di bangku SMA. Cukup lama
kami menyusuri jalanan Simpang Lima dan perut pun seakan tengah memasang alarm
untuk segera Aku, Yosi, dan Dika memutuskan untuk mencoba pempek sementara kak
Fierdi memesan Siomay yang terletak di sebelah tempat kami makan.
Tak menunggu beberapa lama
setelah kami duduk, aku merasa ada sesuatu yang membuat hatiku kesal. Aku
meminjam kunci motor Dika dan segera bergegas menancap gas dan menuangkan keluh
kesahku dengan beberapa kali mengambil kesempatan ekstrim. Setelah kembali dari
pencurahan keluh kesah, aku tampak sedikit asing dengan tatapan mata
teman-temanku. Mereka tak habis pikir akan tingkahku yang mencurigakan. Mereka
bahkan sampai mengamati gerak-gerikku dalam menghabiskan makanan yang telah aku
pesan. Setelah makan, kami memutuskan untuk sholat maghrib di Masjid Agung
Baitunnur Pati. Kak Fierdi dan Yosi melangkah terlebih dahulu menuju masjid,
sedangkan Dika mengintrogasiku dengan berbagai pertanyaan. Temanku yang satu
ini khawatir jika aku mendapatkan hal-hal yang tidak mengenakkan dari orang
lain. Hal yang cukup membuatku kembali tersenyum yaitu ketika ketiga temanku
ini mengatakan bahwa Fatma itu cerewet dan ketika dia tidak seperti itu lagi,
mereka merasa asing dengan sikapku itu. Terlebih si Dika juga mengatakan bahwa
Fatma yang ia kenal adalah orang yang suka mencubit, menjambak, menampar, dan
lain-lain. Terlebih lagi sekasar apapun aku, mereka tetap menghargaiku sebagai
seorang teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar