Jumat, 02 Maret 2012

Menjemput Senyuman di Batas Negeri (Essay K2N UI)


Globalisasi adalah jalan menuju peradaban yang lebih baik lagi. Tantangan akan munculnya generasi canggih dan tanggap teknologi telah terjadi pada tahun-tahun terakhir ini. Perubahan dan perbaikan di berbagai sektor kehidupan menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah yang ingin terlihat tanggap pada globalisasi.  Suatu hal yang ironis sekali, ketika Jakarta disibukkan dengan pemilihan kepala daerah dan peluncuran gadget-gadget baru, pelosok negeri terus berduka dengan munculnya permasalahan-permasalahan krusial di negeri ini. Sebagai mahasiswa, ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita anggap saudara, mungkin adalah kebutuhan tersier bagi masyarakat yang tinggal di pedalaman negeri ini. Mereka mungkin saja memiliki masalah pada kebutuhan primer, sehingga tidak memiliki fokus perhatian pada munculnya globalisasi yang semakin memunculkan banyak tantangan.
Belum selesai dengan masalah globalisasi dan kebutuhan, masyarakat di pelosok Indonesia, khususnya di daerah perbatasan, mungkin juga pernah mengalami krisis kepercayaan kepada pemerintah di negeri ini.  Pembangunan sarana dan prasarana vital, seperti jalan, semakin susah untuk diusahakan. Godaan akan munculnya klaim-klaim Negara tetangga atas kepemilikan suatu pulau telah jelas terdengar. Sebagai generasi muda tempat Indonesia menaruh harap, kita tidak sepatutnya menutup mata dan telinga kita dari isu-isu permasalahan seperti itu. Sebagai sivitas academika UI yang notabene dikenal sebagai kampus perjuangan, adalah kewajiban kita untuk menjunjung tinggi tri darma perguruan tinggi dimana salah satunya yaitu pengabdian kepada masyarakat.
Melalui kuliah kerja nyata (K2N) UI 2012 dimana tema yang diangkat adalah “Menghalau batas Negeri, menjangkau keterasingan, menuju percepatan pembangunan”, saya ingin turut bergabung bersama jiwa-jiwa muda yang peduli pada bangsa ini. Isu-isu serta permasalahan yang saya sebutkan di atas, bukan hanya sekedar permasalahan sepele yang mungkin akan hilang dengan sendirinya. Permasalahan-permasalahan seperti klaim-klaim Negara pada wilayah terasing Indonesia akan selalu ada dan sangat mengancam persatuan dan kesatuan. Jika kita tidak peduli pada daerah-daerah terpencil di Indonesia, mungkin saja akan terjadi banyak konflik akan munculnya daerah-daerah yang ingin membentuk Negara sendiri atau bahkan menjadi bagian Negara lain.
Selama ini, kita, warga Negara Indonesia hanya menjadi pihak yang responsif terhadap masalah yang menyeruak ke permukaan. Lihat saja seperti terjadi pada kasus Sipadan dan Ligitan dimana akhirnya Mahkamah International memberikan kedaulatan kedua pulau tersebut kepada Malaysia. Belum cukup dengan masalah tersebut, virus yang menggerogoti keutuhan NKRI juga muncul ketika Timor Timur melakukan aksi untuk menjadi suatu Negara tersendiri yang lepas dari Indonesia sehingga kini menjadi Timor Leste. Pulau Jemur yang berada di Riau juga sempat di klaim dalam suatu situs pariwisata Malaysia. Bukan hanya klaim masalah wilayah saja, klaim terhadap budaya Indonesia pun sempat menjadi perseteruan antar petinggi-petinggi pemerintahan di Negara ini. Untungnya Indonesia cepat tanggap dengan masalah ini sehingga UNESCO mematenkan batik Indonesia. Permasalahan ini akan terus terjadi ketika kita sebagai warga Negara yang sadar akan pentingnya persatuan dan kesatuan, tidak mencurahkan rasa peduli kita pada etnis dan wilayah yang menjadi bagian Indonesia. 

2 komentar:

  1. WNI bukan cuma responsif, itu istilah masih kebagusan. lebih-lebih WNI masih reaktif nanggepin berbagai isu yang provokatif dan sensitif. jadi kearifan lokal yang belum tergali tetap terpendam cuma jadi kekayaan tanpa diberdayakan jadi suatu kekuatan buat nyiptain kesatuan nasional dan modal sosial

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nice :) kearifan lokal yang belum tergali padahal itu adalah kekayaan negeri yang menjadi penyokong keberagaman di negeri kita. Local genius dan Local wisdom sebenarnya memang patut di perdayakan. :)

      Hapus

Translate