Globalisasi adalah jalan menuju peradaban yang lebih baik lagi.
Tantangan akan munculnya generasi canggih dan tanggap teknologi telah terjadi
pada tahun-tahun terakhir ini. Perubahan dan perbaikan di berbagai sektor
kehidupan menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah yang ingin terlihat
tanggap pada globalisasi. Suatu hal yang
ironis sekali, ketika Jakarta disibukkan dengan pemilihan kepala daerah dan
peluncuran gadget-gadget baru, pelosok negeri terus berduka dengan munculnya
permasalahan-permasalahan krusial di negeri ini. Sebagai mahasiswa, ilmu
pengetahuan dan teknologi yang kita anggap saudara, mungkin adalah kebutuhan
tersier bagi masyarakat yang tinggal di pedalaman negeri ini. Mereka mungkin
saja memiliki masalah pada kebutuhan primer, sehingga tidak memiliki fokus
perhatian pada munculnya globalisasi yang semakin memunculkan banyak tantangan.
Belum selesai dengan masalah globalisasi dan kebutuhan, masyarakat
di pelosok Indonesia, khususnya di daerah perbatasan, mungkin juga pernah
mengalami krisis kepercayaan kepada pemerintah di negeri ini. Pembangunan sarana dan prasarana vital,
seperti jalan, semakin susah untuk diusahakan. Godaan akan munculnya
klaim-klaim Negara tetangga atas kepemilikan suatu pulau telah jelas terdengar.
Sebagai generasi muda tempat Indonesia menaruh harap, kita tidak sepatutnya
menutup mata dan telinga kita dari isu-isu permasalahan seperti itu. Sebagai
sivitas academika UI yang notabene dikenal sebagai kampus perjuangan, adalah
kewajiban kita untuk menjunjung tinggi tri darma perguruan tinggi dimana salah
satunya yaitu pengabdian kepada masyarakat.
Melalui kuliah kerja nyata (K2N) UI 2012 dimana tema yang diangkat
adalah “Menghalau batas Negeri, menjangkau keterasingan, menuju percepatan
pembangunan”, saya ingin turut bergabung bersama jiwa-jiwa muda yang peduli
pada bangsa ini. Isu-isu serta permasalahan yang saya sebutkan di atas, bukan
hanya sekedar permasalahan sepele yang mungkin akan hilang dengan sendirinya.
Permasalahan-permasalahan seperti klaim-klaim Negara pada wilayah terasing
Indonesia akan selalu ada dan sangat mengancam persatuan dan kesatuan. Jika
kita tidak peduli pada daerah-daerah terpencil di Indonesia, mungkin saja akan
terjadi banyak konflik akan munculnya daerah-daerah yang ingin membentuk Negara
sendiri atau bahkan menjadi bagian Negara lain.
Selama ini, kita, warga Negara Indonesia hanya menjadi pihak yang
responsif terhadap masalah yang menyeruak ke permukaan. Lihat saja seperti
terjadi pada kasus Sipadan dan Ligitan dimana akhirnya Mahkamah International
memberikan kedaulatan kedua pulau tersebut kepada Malaysia. Belum cukup dengan
masalah tersebut, virus yang menggerogoti keutuhan NKRI juga muncul ketika
Timor Timur melakukan aksi untuk menjadi suatu Negara tersendiri yang lepas
dari Indonesia sehingga kini menjadi Timor Leste. Pulau Jemur yang berada di
Riau juga sempat di klaim dalam suatu situs pariwisata Malaysia. Bukan hanya
klaim masalah wilayah saja, klaim terhadap budaya Indonesia pun sempat menjadi
perseteruan antar petinggi-petinggi pemerintahan di Negara ini. Untungnya
Indonesia cepat tanggap dengan masalah ini sehingga UNESCO mematenkan batik
Indonesia. Permasalahan ini akan terus terjadi ketika kita sebagai warga Negara
yang sadar akan pentingnya persatuan dan kesatuan, tidak mencurahkan rasa
peduli kita pada etnis dan wilayah yang menjadi bagian Indonesia.
WNI bukan cuma responsif, itu istilah masih kebagusan. lebih-lebih WNI masih reaktif nanggepin berbagai isu yang provokatif dan sensitif. jadi kearifan lokal yang belum tergali tetap terpendam cuma jadi kekayaan tanpa diberdayakan jadi suatu kekuatan buat nyiptain kesatuan nasional dan modal sosial
BalasHapusNice :) kearifan lokal yang belum tergali padahal itu adalah kekayaan negeri yang menjadi penyokong keberagaman di negeri kita. Local genius dan Local wisdom sebenarnya memang patut di perdayakan. :)
Hapus