Kamis, 24 Mei 2012

Menyanyikan Lagu Ini Sembari Melihat Langit: Christina Perri


Beribu kali mendengarkan sebuah lagu yang saya putar membuat teman saya jenuh. Beberapa waktu kemudian, muncullah lagu ini sebagai rekomendasi untuk mengisi playlist di laptop saya, meski seratus kali diputar, ternyata rasanya tak sama dengan lagu yang sebelumnya :)

Heart beats fast, Colors and promises
How to be brave, How can I love when I'm afraid to fall
But watching you stand alone,
All of my doubt, Suddenly goes away
Somehow, One step closer

(Chorus)
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid, I have loved you
For a thousand years
I'll love you for a thousand more

One step closer
And all along, I believed I would find you
One step closer One step closer
I have loved you for a thousand years
And all along I believed I would find you


(Verse 2) 
Time stands still beauty in all she is
I will be brave; I will not let anything take away
What's standing in front of me?
Every breath, every hour has come to this
(Chorus)
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid, I have loved you
For a thousand years
I'll love you for a thousand more
time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
(Chorus)
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid,
I'll love you for a thousand more
time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more

Melihat Adler dengan Kacamata Saya


Alfred Adler, salah satu tokoh psikodinamika yang mencetuskan Individual Psychology. Alfred Adler percaya bahwa interpretasi seseorang terhadap pengalaman hidupnya jauh lebih penting daripada pengalaman itu sendiri (Feist & Feist, 2009). Menurut saya, interpretasi/pemaknaan kita terhadap suatu hal adalah kunci pengetahuan yang dapat kita petik dari pengalaman. Tanpa adanya pemaknaan terhadap suatu pengalaman yang terjadi dalam hidup kita, maka kita hanya akan menjadikan pengalaman itu sebagai angin lalu tanpa mendapatkan insight yang berguna bagi diri kita dimasa yang akan datang.

Berbicara tentang interpretasi/pemaknaan terhadap pengalaman hidup, saya percaya bahwa masing-masing orang memiliki pengalaman yang berbeda dan hal tersebut akan menentukan interpretasi yang berbeda pula pada pengalaman hidupnya. Dalam aliran psikodinamika, hanya Adler yang menjunjung tinggi keunikan seseorang. Dari empat aliran kepribadian itu sendiri, hanya terdapat empat tokoh yang menjunjung tinggi keunikan seseorang yaitu: Alfred Adler, Albert Bandura, Burrhus Frederic Skinner, dan Carl Ransom Roger. Tiga dari empat tokoh tersebut merupakan tokoh-tokoh yang pro dan kontra dalam menanggapi konsep ketidaksadaran. Hanya Alfred Adler saja yang mengambil jalan tengah dengan menyeimbangkan antara konsep ketidaksadaran dan konsep kesadaran.

Hal lain dari Alfred Adler yang menarik bagi saya adalah konsep susunan keluarga (family constellation) yang ia kemukakan sebagai aplikasi dari individual psychology. Sebagai tokoh yang menganggap bahwa lingkungan sosial turut berperan dalam pembentukan kepribadian, Adler cukup optimis dalam melihat pengaruh keluarga terhadap kepribadian seseorang. Menurut Feist & Feist (2009), aplikasi tentang urutan kelahiran dalam family constellation yang dicetuskan Adler telah memenuhi prasyarat “teori yang berguna” dengan adanya kemampuan untuk digeneralisasikan pada penelitian lain.

Dalam memandang manusia, tidak seperti tokoh lain di Freud’s Inner Circle, Adler lebih menekankan pada kebebasan manusia dalam memilih untuk berperilaku seperti apa yang ia inginkan (Feist & Feist, 2009). Dengan kata lain, manusia memiliki kontrol terhadap dirinya sehingga manusia memiliki hak untuk menentukan arah kehidupannya. Disini, saya sangat setuju dengan pandangan Adler karena menurut saya, meskipun kehidupan manusia telah terberi oleh Tuhan, ditentukan lahir dari orang tua kita, tetapi kita memiliki kuasa untuk membawa dan berusaha melakukan hal yang terbaik untuk hidup kita. Saya sedikit kurang setuju dengan orang-orang yang berkata bahwa hidup manusia merupakan suatu hal yang ditentukan oleh faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia. Saya pribadi menganggap segala aspek dalam diri manusia adalah keterkaitan antara sesuatu yang telah terberi dengan usaha-usaha yang dilakukan manusia untuk dapat memperbaiki hal-hal negatif yang ada dalam dirinya.

Daftar Pustaka:
Feist, J. & Feist, G. J. (2009). Theories of Personality. Boston: McGraw-Hill.




Jumat, 04 Mei 2012

Rapat Akbar KOMPI UI menjelang Trip To UI: Cukup Aku, Kamu, dan Tuhan yang Tahu


Rasanya tak ingin berhenti terucap syukur atas karunia yang telah Allah limpahkan hari ini dan di hari-hari yang lain. Kembali teringat dengan coretanku yang berjudul “Merangkai Kata Menjadi Sebuah Keluarga”. Hari ini, 4 Mei 2012, saya dan teman-teman yang bernaung dalam suatu wadah kekeluargaan kembali menulis cerita indah dan seru tentang pemaknaan tentang pengalaman hidup. Kali ini, bukan berjualan gorengan atau baju bekas lagi, tetapi lebih ke perumusan konsep dan hal-hal terkait teknis acara yang hendak kami selenggarakan pada 5 Mei-18 Mei 2012, TRIP TO UI. Tak kurang pukul 15:30 saya sampai di kontrakan yang terletak di sebuah gang kecil di dekat Jalan Margonda Raya Depok. Disana, telah ada Bagas (Sistem Informasi UI 2011) yang tengah jenuh menanti di luar pagar.
Setengah jam sudah setelah akhirnya datang Septa (Manajemen UI 2011) yang selanjutnya disusul oleh Wahyu (Teknik Perkapalan UI 2011) dan Atik (Matematika UI 2011) yang berbarengan berangkat dari Asrama Mahasiswa UI Depok. Sudah lebih satu jam dari agenda yang dijadwalkan tetapi kami masih belum memulai rapat karena belum tercapainya batas quorum (quota forum). Menjelang pukul 5 sore, datanglah Eka (Biologi UI 2011), Mas Riko (Ilmu Komputer UI 2009), dan Mas Jauhar (Fisika UI 2008). Ba’da sholat Maghrib, datanglah Ficky (Teknik Mesin 2011) dan selanjutnya kami segera memulai obrolan alias rapat kami, tepatnya pukul 18.55, hampir 4 jam lewat dari agenda yang ditetapkan.
Membicarakan masalah rundown dan teknis acara, sempat beberapa kali kami terdistract dengan obrolan lain di dalam forum. Waktulah yang akhirnya memusatkan perhatian kami hingga akhirnya tepat pukul 19.30, fiksasi rundown dan draft pengajar terrealisasikan sudah. Beberapa saat sebelum beberapa teman meninggalkan kontrakan, datanglah mbak Jumiatun (Sastra Jerman UI 2008) yang hadir untuk menyapa kami. Si Mbak yang dapat berbicara dalam 4 bahasa (Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jerman) menyampaikan permohonan maaf karena beliau sibuk merancang tugas akhirnya. Alhamdulilah, sesibuk apapun beliau masih menyempatkan menengok salah seorang fans beratnya di KOMPI (hahahaha colek seseorang di kutek). Peace. .
Tak lama dari kedatangan Mba Jum, datang juga Mas Galih (ilmu Komputer UI 2009) dan Mas Panji (Teknik Mesin UI 2010) yang  mau bersusah-susah keliling Depok untuk membeli bantal “unyu” ^_^ buat peserta TRIP TO UI. Hampir pukul 9 malam, datang Jalal (Sejarah UI 2011) yang selanjutnya diikuti juru kunci  rapat kali ini yaitu Mas Harnoko (Matematika UI 2009) yang sempat muter-muter stasiun UI untuk mencari Gg. Mangga (akhirnya ketemu :)). Beruntung Mas Harnoko datang, beliau adalah tutor Matematika yang untuk kesempatan kali ini kami beri jam terbang yang tinggi, dan alhamdulilah beliau bisa. Pukul 21.30 hanya tersisa saya, Jalal, Mas Harnoko, dan Mas Panji dalam kontrakan tersebut. Obrolan tentang software matematika hingga konsep-konsep interpersonal seakan menjadi agenda rapat kedua kami. Tepat pukul 22.00 kami meninggalkan kontrakan dan mengakhiri rapat.
Insight yang saya dapat dari hari ini adalah, tentang pemaknaan kata “rapat”. Menurut saya, rapat adalah suatu forum formal yang didikte untuk membicarakan issue yang dijadikan agenda pembahasan. Tetapi di keluarga kecil ini, rapat yang kami lakukan memang tak selayaknya disebut rapat karena sungguh ide dan saran yang keluar dari diri kami adalah bukti kepedulian kami. Mulai dari kehadiran yang sebetulnya tanpa paksaan, pembicaraan yang boleh meluas dan menyempit, serta tempat keluh kesah yang gratis telah kami temukan disini. Bagi saya, yang disebut keluarga yang sempurna bukanlah orang yang memberi segala kebahagiaan. Keluarga yang sempurna menurut saya adalah keluarga yang dapat membimbing saya dalam merasakan masing-masing perasaan dalam piring “emosi” yang berbeda. Seperti permen, ia ibarat “nano-n*no” yang memberi berbagai rasa dalam satu sensasi saja.

Semalam Bersama Muhyi


Rasanya lelah sudah mata ini terbuka. Kira-kira lebih dari 16 jam aku belum sempat memejamkan mata seharian ini. Rutinitas kuliah yang padat dihari Kamis, dan beberapa aktivitas eventual lain cukup sering mewarnai hari sibukku di semester ini, hari Kamis. Pada kesempatan kali ini, Kamis, 3 Mei 2012, lebih tepatnya pukul 21:48, teman saya, sebut saja namanya Muhyi atau Fitra, datang untuk membicarakan suatu masalah terkait acara dalam paguyuban kami, KOMPI UI. Seperti biasa, muka kusut dan tak karuan seakan memelas untuk tahu update terbaru kegiatan yang tengah kami selenggarakan, “Trip To UI”.  Acara ini merupakan bakti kami terhadap kota Pati yang kami manifestasikan dalam mbimbingan belajar dan orientasi kampus kepada siswa/siswi SMA yang memiliki peringkat terbaik dalam try out yang kami selenggarakan. Acara ini akan berlangsung dari tanggal 5 Mei sampai 18 Mei 2012.
“Telpon Septa, Ma. Minta tolong Ficky antar kasurnya ke kontrakan sekarang” kata Muhyi.
Aku hanya menuruti saja perintah dari pak Ketua KOMPI. Hehehehe. .sejujurnya dalam hati aku sungkan untuk merepotkan anak-anak KOMPI malam-malam gitu. Seakan tak ada hari esok saja. Dalam pemikiran saya, secara sadar yakin bahwa nantinya saya yang akan turut bantu dia beres-beres kontrakan. Benar saja, dua kasur yang dipinjamkan oleh Ibu kosku berhasil pula kami angkat. Dengan terpaan angin yang lumayan kuat dan dengan dua kali bawa barang, kami sudah siap beres-beres kontrakan.
Pukul 12 tepat, hanya terdengar suara di warung nasi goreng yang sedari tadi membuat cacing diperutku berteriak-teriak. Semua sudah beres, sudah saya sapu dan pel setiap bagian dan sudut dalam rumah tersebut. Mungkin sekitar pukul setengah satu malam, Muhyi berpamitan untuk pergi membeli kertas kado guna menutup lubang yang ada didinding. Ya, maklumlah, kontrakan yang kami dapat itu layaknya pinang dibelah-belah alias rusak. Dinding yang penuh dengan coretan seakan membuat imaginasi saya terus menerka gambar apa itu. Pengalaman yang sama, ketika kami tengah rapat panitia, salah satu panitia, sebut saja namanya Tantri, merinding disko melihat coretan yang terlihat seperti seorang perempuan. .hahahaha kami benar-benar imaginative J.
“Aku takut kena fitnah, Ma” kata Muhyi ketika kami telah selesai membeli berbagai pernak-pernik untuk menghias dinding kontrakan. Mendengar kata-kata itu, saya hanya tertawa. Berpikir bahwa untuk apa orang memfitnah kami. Hal inilah yang sesungguhnya agak menggelitik pikiran saya. Ada beberapa orang yang dengan sengaja berduaan untuk tujuan tertentu, dan ada juga orang yang tidak sengaja berdua meskipun dengan alasan tertentu. Tapi berbeda dalam menanggapi isu munculnya fitnah. Sebenarnya, saya ingin menyebutnya sebagai gossip, tapi ya, tak apalah jika akrab disebut fitnah.
“Aku mau nulis ah, semalam bersama psikopat” kata Muhyi sembari menempel “wall-paper” di dapur. Takut dia bakal ngomong aneh-aneh tentang “gangguan” saya, saya mencoba untuk mencuri start dalam menulis dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Hahahaha. .hanya sekedar sharing. Saya sampai kos mungkin sekitar pukul setengah dua dini hari, dan malam Jum’at ini benar-benar malam yang melelahkan, setelah sebelumnya saya tidak tidur seharian karena dikejar deadline.
Baca tulisan selanjutnya. . . . . "Hidup Mati di Kejar Deadline"

Translate